Jumat, 22 Januari 2010

Who Care?

Salah satu dosen kami pernah bercerita tentang pengalamannya ketika sedang megikuti acara penataran bagi dosen-dosen. Ada dosen dari fakultas lain yang bertanya, Pak, apa bedanya Fakutas Ilmu Keperawatan (FIK) dan Fakultas Kedokteran (FK)?. Lalu dosen kami menjawab, Ya beda, kalau lulus dari FIK jadi perawat, kalau lulus FK jadi dokter diikuti tawa dosen lainnya. Kalau FIK itu care (merawat) pak, sedangkan FK itu cure (mengobati) lanjut dosen kami.
Pengalaman yang pernah kami alami yang hampir serupa dengan kejadian diatas adalah ditanya Perawat itu kerjanya ngapain ya?. Teman saya juga pernah ditanya, Kuliah di keperawatan kalau lulus jadi dokter atau bidan?. Ada juga yang berfikir, Setelah lulus dari keperawatan nanti bisa nglanjutin di kedokteran (S2 maksudnya) dan jadi dokterkan?. Pertanyaan diatas masih sering ditanyakan di masyarakat. Kami sebagai bagian dari profesi keperawatan (yang saat ini posisi kami masih sebagai mahasiswa) merasa miris dengan kenyataan ini. Oleh karena itu hal ini menjadi salah satu tanggung jawab kami sebagai mahasiswa keperawatan untuk memberikan penjelasan atau gambaran tentang profesi perawat/nurse.
Perawat adalah sebuah profesi, dimana sebuah pekerjaan akan disebut profesi maka mempunyai syarat, beberapa diantaranya: kode etik, mempunyai organisasi profesi, mempunyai body of knowledge, diperoleh melalui pendidikan formal. Begitu juga perawat, mempunyai kode etik keperawatan, mempunyai organisasi profesi (di Indonesia PPNI), diperoleh melalui pendidikan formal, mempunyai body of knowledge, dan lain-lain. Jenjang pendidikannya mulai dari SPK (sekarang sudah dihapus), D3, D4, S1 Keperawatan, S2 Keperawatan dan Spesialis (Keperawatan Komunitas; Keperawatan Jiwa; Keperawatan Maternitas; Keperawatan Medikal Bedah; Keperawatan Keluarga; Keperawatan Gerontik; Keperawatan Gawat Darurat; Keperawatan Anak), dan S3. Untuk di Indonesia baru ada sampai jenjang S2 dan Spesialis (Keperawatan Komunitas; Keperawatan Jiwa; Keperawatan Maternitas; Keperawatan Medikal Bedah; Keperawatan Gawat Darurat; Keperawatan Anak).
Perawat dapat berperan sebagai pendidik, peneliti, advokat, pelaksana. Pendidik disini dapat sebagai dosen maupun ketika perawat memberikan penddikan kesehatan kepada klien. Peneliti yaitu mengadakan penelitian untuk mengembangkan ilmu dan praktik keperawatan. Advokat yaitu ketika membantu klien untuk mendapatkan hak-hak klien (seperti mendapat info tentang ASKESKIN; obat yang sesuai jangkauan ekonomi klien; pengobatan atau perawatan atau terapi yang sesuai). Pelaksana yaitu perawat yang bekerja memberikan asuhan keperawatan misalnya di tempat peayanan kesehatan seperti rumah sakit, dll.
Seorang perawat adalah profesi yang diharapkan selalu care (peduli) terhadap klien (pasien yang tidak hanya sebagai objek, tapi juga subjek yang ikut menentukan keputusan akan pengobatan/terapi/perawatan terhadap dirinya dan terlibat secara aktif). Seorang perawat memandang seseorang klien secara holistik/menyeluruh. Perawat tidak memandang klien hanya sebagai individu yang sedang sakit secara fisik/bio, tetapi juga memperhatikan kondisi mental/psikis/kejiwaan, sosial, spiritual, dan cultural. Oleh karena itu, untuk memberikan asuhan keperawatan, seorang perawat harus mengkaji aspek yang holistik tersebut (bio, psiko, sosio, spiritual, dan cultural). Dan asuhan yang dilakukan perawat adalah memberikan perawatan, sedangkan dokter adalah mengobati.
Salah satu contohnya adalah misalnya klien mengalami batuk. Maka sesuai profesinya, yang dilakukan dokter ke klien ini adalah memberikan obat batuk (misalnya dextral). Sedangkan yang dilakukan perawat atau asuhan keperawatannya adalah mengatasi masalah keperawatan apa yang timbul akibat batuk yang dialami klien tersebut dengan cara melakukan pengkajian terlebih dahulu, seperti: kapan mulai batuk, terus-menerus atau waktu-waktu tertentu, berdahak atau tidak, jika berdahak perlu dikaji apakah klien bisa mengeluarkan dahaknya, seperti apa dahaknya (jumlah, warna, konsistensi), apakah pernapasan klien terganggu, bagaimana pola napasnya, apakah aktivitas klien terganggu, jika ya maka perlu dikaji aktivitas seperti apa yang terganggu.
Jika klien batuk dan dahaknya sulit keluar, maka perawat mengajarkan cara bagaimana batuk yang efektif untuk mengeluarkan dahaknya atau dengan memberikan fisioterapi dada maupun suction jika masih banyak dahak yang menumpuk di saluran pernapasan atau paru-paru. Jika klien sulit bernapas, perawat menganjurkan klien untuk tidur dengan posisi tubuh bagian kepala-dada lebih tinggi daripada panggul-kaki (posisi semi fowler). Selain itu, perawat juga mengkaji perasaan klien. Jika klien mengalami kecemasan/ansietas, maka hal ini juga perlu diatasi perawat.
Contoh lainnya yaitu misalnya klien mengalami mual dan muntah. Dokter akan memberikan obat anti emetik untuk mengatasi masalah ini. Sedangkan asuhan keperawatan yang dilakukan perawat adalah mengatasi akibat dari mual muntah ini, seperti: memenuhi kebutuhan nutrisi untuk mengantikan nutrisi yang keluar saat muntah dan mencegah kurangnya nutrisi pada klien; memehuhi kebutuhan cairan (air, elektrolit) untuk menggantikan cairan yang keluar tubuh dan mencegah terjadinya dehidrasi. Perawat juga perlu mengkaji perasaan klien dan mengatasi jika ada masalah dengan psikologisnnya.
Untuk kedepannya (yang akan dituju), keperawatan tidak hanya berfokus pada pelayanan kesehatan (di rumah sakit, poliklinik, Puskesmas, dan penyedia pelayanan kesehatan lain) namun keperawatan yang berbasis komunitas (baik komunitas secara keseluruhan di suatu wilayah tertentu, agregat/kelompok usia tertentu, keluarga, maupun gerontik/lansia). Dengan sistem yang seperti ini (berbasis komunitas), perawat tidak hanya duduk di tempat pelayanan kesehatan menunggu datangnya klien atau merawat klien yang sudah ada di tempat pelayanan kesehatan, tetapi juga melakukan pengkajian ke masyarakat/komunitas (ke komunitas itu sendiri, agregat, keluarga, gerontik) untuk mengetahui masalah kesehatan yang sedang dialami, faktor risiko dan penyakit yang akan muncul akibat risiko tersebut, serta pendidikan kesehatan (seperti penyuluhan tentang DBD, Flu Burung, Hipertensi/darah tinggi, penyakit Gula/Diabetes Mellitus, dan lain-lain).
Pada sistem perawatan berbasis komunitas, perawat bekerjasama dengan berbagai pihak, seperti: tim kesehatan lain, kader kesehatan wilayah setempat (wilayah yang dikaji), pemerintahan setempat, SDM yang ada diwilayah setempat untuk diberdayakan kemampuannya (empowerment), dinas Kesehatan setempat, dinas Kebersihan dan Tata kota, dan lain-lain. Hal ini akan bermanfaat untuk pendeteksian jumlah penderita penyakit tertentu yang tidak memeriksakan kesehatannya ke pelayanan kesehatan, pendeteksian faktor risiko dan penyakit yang akan ditimbulkan, serta yang paling penting adalah menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah kesehatan yang ada di Indonesia karena disini upaya promotif maupun preventif/pencegahan terhadap masalah kesehatan lebih optimal secara kuantitas dan waktu (karena lebih awal) daripada di sektor lain (klinik/penyedia pelayanan kesehatan). Harapannya, sistem berbasis komunitas ini mendapat persetujuan, dukungan serta kerjasama dari berbagai pihak dan dapat terlaksana di seluruh wilayah yang ada di Indonesia.

Rabu, 06 Januari 2010

AMBULANCE 118


Di Indonesia, banyak penderita cedera, keracunan, serangan jantung atau kegawat-daruratan yang lain yang meninggal di rumah atau dalam perjalanan ke rumah sakit karena penatalaksanaan yang tidak memadai. Padahal angka kematian di rumah atau dalam perjalanan ke rumah sakit dapat dikurangi jika ada pelayanan gawat darurat yang dapat segera menghampiri penderita, dan dalam perjalanan penderita kemudian didampingi oleh paramedik dan ambulans yang memadai. Oleh karena itu masyarakat perlu mengerti fungsi ambulans dan mudah mendapatkan ambulans.
Harus segera dimaklumi, bahwa pada hakekatnya pelayanan gawat darurat yang seharusnya pergi ke penderita, dan bukan penderita yang dibawa ke pelayanan gawat darurat. Ini mengandung konsekuensi, bahwa ambulans yang datang ke penderita, dan kemudian membawanya ke rumah sakit, haruslah merupakan suatu “Unit Gawat Darurat berjalan”, sebaiknya dengan perlengkapan gawat darurat yang lengkap, dan petugas medik yang ber-keterampilan dalam penanganan gawat darurat.
Transportasi penderita gawat darurat dari tempat kejadian ke rumah sakit sampai sekarang masih dilakukan dengan bermacam-macam kendaraan, hanya sebagian kecil saja dilakukan dengan ambulan. Dan ambulannya bukan ambulan yang memenuhi syarat tetapi ambulan biasa. Bila ada bencana dengan sendirinya para korban akan diangkut dengan segala macam kendaraan tanpa koordinasi yang baik. Dalam keadaan bencana ambulan-ambulan 118 dapat segera tiba di tempat dan berfungsi sebagai rs lapangan.

Syarat penderita
Seorang penderita gawat darurat dapat ditransportasikan bila penderita tersebut siap (memenuhi syarat) untuk ditransportasikan, yaitu:
Gangguan pernafasan dan kardiovaskuler telah ditanggulangi – resusitasi : bila diperlukan, perdarahan dihentikan, luka ditutup, patah tulang di fiksasi dan selama transportasi (perjalanan) harus di monitor :
a. Kesadaran
b. Pernafasan
c. Tekanan darah dan denyut nadi
d. Daerah perlukaan
3. Prinsip transportasi Pre Hospital
Untuk mengangkat penderita gawat darurat dengan cepat & aman ke rs / sarana kesehatan yang memadai, tercepat & terdekat.
a. Panduan mengangkat penderita
• Kenali kemampuan diri dan kemampuan team work
• Nilai beban yang diangkat,jika tidak mampu jangan dipaksa
• Selalu komunikasi, depan komando
• Ke-dua kaki berjarak sebahu, satu kaki sedikit kedepan
• Berjongkok, jangan membungkuk saat mengangkat
• Tangan yang memegang menghadap ke depan (jarak +30 cm)
• Tubuh sedekat mungkin ke beban (+ 50 cm)
• Jangan memutar tubuh saat mengangkat
• Panduan tersebut juga berlaku saat menarik/mendorong

b. Pemindahan emergency :
• Tarikan baju
• Tarikan selimut
• Tarikan lengan
• Ekstrikasi cepat (perhatikan kemungkinan terdapat fraktur servical)
4. Panduan memindahkan penderita (secara emergency, non emergency)
a. Contoh pemindahan emergency adalah :
• Ada api, bahaya api atau ledakan
• Ketidakmampuan menjaga penderita terhadap bahaya lain
• Usaha mencapai penderita lain yang lebih urgen
• Rjp penderita tidak mungkin dilakukan di tkp tersebut
Catatan : “ apapun cara pemindahan penderita selalu ingat kemnungkinan patah tulang leher (servical) jika penderita trauma “
b. Pemindahan non emergency :
• Pengangkatan dan pemindahan secara langsung
• Pengangkatan dan pemindahan memakai sperei
(tidak boleh dilakukan jika terdapat dugaan fraktur servical)
c. Mengangkat dan mengangkut korban dengan satu atau dua penolong :
• Penderita sadar dengan cara :
“ human crutch ” – satu / dua penolong, yaitu dengan cara dipapah dengan dirangkul dari samping
• Penderita sadar tidak mampu berjalan
Untuk satu penolong dengan cara :
“ piggy back “ yaitu di gendong, dan “ cradel “ yaitu di bopong, serta “ drag “ yaitu diseret
Untuk dua penolong dengan cara :
“ two hended seat “ yaitu ditandu dengan kedua lengan penolong, atau “ fore and aft carry “ yaitu berjongkok di belakang penderita.
• Penderita tidak sadar
Untuk satu penolong dengan cara:
“ cradel “ atau “ drag “
Untuk dua penolong dengan cara :
“ fore and aft carry “
5. Syarat alat transportasi
Syarat alat transportasi yang dimaksud disini adalah :
a. Jenis ambulans di dinas ambulans gawat darurat 118
• AGD 118 Basic
Mampu menanggulangi gangguan A (airway), B (breathing), C (circulation) dalam batas-batas Bantuan Hidup Dasar. Juga dilengkapi dengan alat-alat ekstrikasi, fiksasi, stabilisasi dan transportasi
• AGD 118 Paramedik
Dilengkapi dengan semua alat/obat untuk semua jenis kegawat-daruratan medik dan petugasnya harus ada Paramedik III.
• AGD 118 Sepeda Motor
Tentu saja motor ini bukan alat evakuasi, namun lebih bersifat “membawa UGD ke penderita”. Peralatannya seperti AGD 118 Paramedik dan awaknya harus Paramedik III

b. AGD 118 harus mampu:
• Idealnya sampai di tempat pasien dalam waktu 6-8 menit agar dapat mencegah kematian karena sumbatan jalan nafas, henti nafas, henti jantung atau perdarahan masif (“to save life and limb”)
• Berkomunikasi dengan pusat komunikasi, rumah sakit dan ambulans lainnya
• Melakukan pertolongan pada persalinan
• Melakukan transportasi pasien dari tempat kejadian ke RS atau dari RS ke Rs
• Menjadi rumah sakit lapangan dalam penanggulangan bencana.
c. Alat-alat medis
Alat – alat medis yang diperlukan adalah : resusitasi : manual, otomatik, laringgoskop, pipa endo / nasotracheal, o2, alat hisap, obat-obat, infus, untuk resusitasi-stabilisasi : balut, bidai, tandu (vakum matras), ecg transmitter ”, incubator, untuk bayi, alat-alat untuk persalinan
Alat-alat medis ini dapat disederhanakan sesuai dengan kondisi local. Tiap ambulan 118 dapat berfungsi untuk penderita gawat darurat sehari-hari maupun sebagai rs lapangan dalam keadaan bencana, karena diperlengkapi dengan tenda sehingga dapat menampung 8 – 10 penderita , alat hisap : – 1 manual- 1 otomatik – dengan o2- 1 dengan mesin, botol infus sehingga kalau ada 10 ambulan 118, 200 penderita dapat segera dipasang infus. Dan 2 x 10 – 20 tenaga perawat “ ccn “
d. Personal
Ketenagaan pada ambulans sebaiknya jangan awam murni karena dapat mengakibatkan cedera lebih lanjut. Dalam satu ambulans sebaiknya ada 2 petugas yang berakreditasi:
• First Responder/Penanggap Pertama
Orang awam yang telah mendapatkan pelatihan gawat darurat lengkap (bukan P3K)
• Paramedik dasar (paramedik I).
Tenaga perawat yang sudah mendapatkan pelatihan gawat darurat dasar. Perawat biasa pengetahuannya tidak cukup untuk dapat membantu penderita gawat darurat.
• Paramedik lanjutan (paramedik II dan III)
Paramedik dasar yang telah mendapat pengetahuan dan keterampilan gawat darurat lanjutan. Pengetahuan medis paramedik III seharusnya sama dengan pengetahuan seorang dokter emergensi, dengan tingkat kompetensi yang sedikit lebih rendah. Sebagai contoh adalah krikotirotomi jarum yang masih dapat dilakukan paramedik III, namun krikotirotomi surgikal hanya dapat dilakukan seorang dokter.
e. Lingkaran tugas paramedik
Pada dasarnya tugas di ambulans adalah lingkaran tugas yang terdiri atas persiapan – respons - kontrol TKP - akses - penilaian awal keadaan penderita dan resusitasi – ekstrikasi – evakuasi – transportasi ke rumah sakit yang sesuai, lalu kembali ke persiapan.
• Persiapan
Fase persiapan dimulai saat mulai bertugas atau kembali ke markas setelah menolong penderita
• Respons
Pengemudi harus dapat mengemudi dalam berbagai cuaca. Cara mengemudi harus dengan cara defensif (defensive driving). Rotator selalu dinyalakan, sirene hanya dalam keadaan terpaksa. Mengemudi tanpa mengikuti protokol, akan mengakibatkan cedera lebih lanjut, baik pada diri sendiri, lingkungan maupun penderita.
• Kontrol TKP
Diperlukan pengetahuan mengenai daerah bahaya, harus diketahui cara parkir, serta kontrol lingkungan.
• Akses ke penderita
Masuk ke dalam rumah atau ke dalam mobil yang hancur, tetap harus memakai prosedur yang baku.
• Penilaian keadaan penderita dan pertolongan darurat
Hal ini sedapatnya dilakukan sebelum melakukan ekstrikasi ataupun evakuasi.
• Ekstrikasi
Mengeluarkan penderita dari jepitan memerlukan keahlian tersendiri. Penderita mungkin berada di jalan raya, dalam mobil, dalam sumur, dalam air ataupun dalam medan sulit lainnya. Setiap jenis ekstrikasi memerlukan pengetahuan tersendiri, agar tidak menimbulkan cedera lebih lanjut.
• Evakuasi dan transportasi penderita
6. Cara transportasi
Sebagian besar penderita gawat darurat di bawa ke rumah sakit dengan menggunakan kendaraan darat yaitu ambulan. Tujuan dari transportasi ini adalah memindahkan penderita dengan cepat tetapi aman, sehingga tidak menimbulkan perlukaan tambahan ataupun syock pada penderita. Jadi semua kendaraan yang membawa penderita gawat darurat harus berjalan perlahan-lahan dan mentaati semua peraturan lalu lintas.
• Bagi petugas ambulan 118 berlaku :
Waktu berangkat mengambil penderita, ambulan jalan paling cepat 60 km/jam. Lampu merah (rorator) dinyalakan, “ sirine “ kalau perlu di bunyikan Waktu kembali kecepatan maksimum 40 km/jam, lampu merah (rorator) dinyalakan dan “ sirine “ tidak boleh dibunyikan Semua peraturan lalu lintas tidak boleh dilanggar








DAFTAR PUSTAKA
Grant HD et al, in Emergency Care, 7th.ed. , Prentice Hall, 1996
McSwain NE; Pre-Hospital Care; in Feliciano, Moore & Mattox (eds);Textbook of trauma; 3rd ed.; pp107-121; 1996
Soedarmo S. Operasionalisasi ambulans, AGD 118, 2003
Pusponegoro AD. Pertolongan penderita trauma pra-rumah sakit. Jakarta: Ambulans Gawat Darurat 118;2001.
Panduan Gawat darurat, Departemen Kesehatan RI, 2001
METODE TRANSPORTASI DAN KOMUNIKASI AMBULANCE « PRO HEALTH, for better life.htm
WWW.SHOCK.COM